Kutika Hari Yang Tujuh

Sebagai masyarakat yang sebelumnya adalah penganut faham animisme dan dinamisme, masyarakat Muna pada zaman dahulu sangat percaya dengan hal ghaib dan tahayul. Setelah islam masuk, kebudayaan animisme dan dinamisme yang menjadi kepercayaan masyarakat sebelumnya itu, di adaptasi dengan budaya dan syariah islam. Bagi penganut islam yang radikal, adaptasi antara kebudayaan dan syariah agama islam dianggap sebagai bid’ah bahkan musyrik.
Namun bagi sebagian masyarakat yang patuh pada petuah leluhur, perpaduan antara kebudayaan nenek moyang dengan syariat islam adalah suatu yang biasa. Alasan dari kelompok ini sangat beralasan sebab penyebar agama islam pertama yang mengajarkan agama islam pada leluhur, tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan Syaidi raba, penyebar agama islam ke 3 di muna, menggabungkan kewajiban bersunat ( Katoba ) bagi anak laki-laki dengan ritual adat yang berisi mantra-mantra dan nasehat-nasehat kepada anak yang disunat yang tidak diajarkan dalam syariat islam.
Berikut ini , penulis menyajikan salah satu budaya animisme dan dinamisme yang dipercaya oleh masyarakat muna yang diadaptasi dengan budaya ( bukan syariah ) islam yaitu ” Kutika  “.

Ada banyak Kutika yang di kenal oleh masyarakat Muna, Salah satunya adalah  kutika Hari Yang Tujuh. Sedangkan Kutika adalah cara yang digunakan oleh mayarakat Muna untuk menghitung waktu yang baik untuk melakukan aktifitas. Perhitungannya didasarkan dari perputaran matahari pada posornya dan perputaran bulan pada orbitnya.
Penulis menyajikan ini, bukan bermaksud untuk mempengaruhi publik untuk meyakini ” Kutika ” tersebut, tetapi hanya sekedar memberitahukan publik bahwa masyarakat Muna memiliki budaya yang tinggi baik sebelum agama islam masuk, maupun setelah ajaran islam mempengaruhi perikehidupan masyarakat Muna





Komentar

Postingan populer dari blog ini

LANGKU-LANGKU ( TATA CARA ) PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU MUNA

Kisah La Ode Wuna Di Negeri Muna ( Negeri Leluhurnya )