Bahasa Muna / Wamba Wuna Adalah Bahasa Utama Di Kepulauan Muna - Buton
Bahasa Muna/ Wamba Wuna adalaha bahasa merupakan bahasa yang paling dominan digunakan oleh masyarakat di Kepulauan Muna dan Buton. Di Daratan Pulau Muna, Bahasa Muna/ Wamba Wuna merupakan bahasa utama masyarakatnya. Sedangkan di Pulau Buton, sekitar 65% masyarakatnya menggunakan Bahasa Muna/ Wamba Wuna sebagai bahasa sehari-harinya. Selain Bahasa Muna/ Wamba Wuna, bahasa lain yang di gunakan oleh masyarakat di Pulau Buton adalah Bahasa Suai/ Cia-cia, Bahasa Kulisusu dan Bahasa Wolio.
Bahasa
Muna / Wamba Wuna
A.
Wamba Wuna, Sebagai Warisan Budaya Masyarakat Muna.
Dr. Sugeng Pujilelesono dalam Pengantar
Antropilogi ( Trans Publishing 2015 ) mengatakan bahwa bahasa merupakan saraana
komunikasi budaya, Lebih lanjut Sugeng mengungkapkan , salah satu unsure
universal kebudayaan adalah adanya bahasa yang dipakai oleh seluruh komunitas
yang tersebar di seluruh muka bumi ini ( Sugeng, 2005:135 ). Sedangkan Edwar
Sapir ( 1884-1939 )mengatakan bahwa Budaya adalah sebuah realitas yang
ditentukan oleh bahasa, sedangkan bahasa ialah sesuatu yang diwartiskan secara
kultur atau turun temurun. Dari dua pendapat diatas,penulis berkesimpulan bahwa
bahasa ,merupakan unsure utama yang membentuk kebudayaan yang
diwariskan secara cultural atau turun temurun. Kendati demikian, sesungguhnya
bahasa itu merupakan bagian dari budaya itu sendiri.Hal ini sebagaimana yang di
definisikan oleh Edwar T Hall “ Kebudayaan adalah komunikasi, komunikasi adalah
kebudayaan “. Sedangkan unsure utama komunikasi adalah bahasa, baik itu bahasa
isyarat ataupun bahasa lisan.
Sebagai
suatu produk budaya yang merupakan sarana utama komunikasi , Bahasa Muna/Wamba
Wuna tentu memiliki peran yang sangat sentral dalam membentuk budaya komunitas masyarakat penuturnya. Dalam
realitas saat ini, Bahasa Muna/ Wamba
Wuna menjadi alat Komunikasi masyarakat yang mendiami seluruh wilayah Pulau
Muna ( Kabupaten Muna, Muna Barat dan Buton Tengah ), seluruh masyarakat di Pulau-pulau
kecil di sekitar Pulau Muna dan Pulau Buton yakni,
Pulau Kadatua, Pulau Batu Atas dan Pulau Siompu ( Kabupaten Buton
Selatan ), dan Pulau Talaga ( Kabupaten
Buton Tengah ). Serta sebagian besar masyarakat yang mendiami Pulau Buton. Jadi bila merujuk
pada definisi T. Hall diatas, maka dapat
dikatakan bahwa kebudayaan masyarakat wilayah-wilayah tersebut terbentuk dari
peran besar Wamba Wuna/Bahawa Muna.
Selain menjadi alat komunikasi utama di Pulau Muna (
Ex Kerajaan Muna ) dan Pulau Buton ( ex Kesultanan Buton ), Bahasa Muna/ Wamba Wuna juga merupakan bahasa
tertua di kedua wilayah Kepulauan tersebut. Bahasa Muna/ Wamba Wuna
diperkirakan telah digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat di
Kepulauan Muna dan Buton sejak tahun 4000 SM. Bahasa Muna/ Wamba Wuna merupakan
rumpun Austronesia, kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian ( Rene Van Deberg, 2006 : 115 ). Pengelompokan
Bahasa Muna/ Wamba Wuna kedalam rumpun Austronesia karena ditemukan kesamaan kosa kata dengan
bahasa-bahasa daerah di wilayah Papua Nugini, Pulau Flores dan Papua yang juga
masih satu rumpun Proto- Austronesia. Sedangkan dimasuknnya dalam kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian karena ditemukan banyaknya kesamaan kosa kata dalam bahasa-bahasa
daerah di Pulau Sulawesi seperti Bahasa Wotu di Sulawesi Selatan dan beberapa
bahasa daerah di Sulawesi Tengah dan Utara.
B.
Sebaran Wilayah Penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna
Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin,
Australia yang melakukan penelitian Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran
wilayah yang masyarakat nya menggunakan Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang
berada di daratan Pulau Buton adalah di wilayah Kecamatan Lasalimu,
kamaru, Kapontori, Labuandiri, Lawele, laonti dan kambe-kambero ( Kabupaten Buton ), Bosuwa, Lawela, Batauga ( Buton Selatan ), Kecamatan Betoambari (Katobengke-Topa-Sulaa-Lawela, Labalawa),
Kecamatan Bungi ( Liabuku, Wonco, Bungi, ) , Kecamatan Lealea ( Pulau Makasar,
Lowu-lowu, Kalia-lia, Palabusa ) di Kota Baubau serta di ex
kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa, Kecamatan Wakorumba Utara dan
Kecamatan Bonegunu ( Kabupaten Buton Utara ), serta Kecamatan Wakorumba Selatan,
Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten
Muna ( Rene V. Deberg, 1989).
Perkiraan waktu penggunaan Bahasa Muna/
Wambha Wuna sebagai alat komunikasi masyarakat di Jazirah Kepulauan Muna dan
Buton tersebut didasarkan pada kedatangan para migran dari dataran tinggi Yunan
Cina dan austeronesia Afrika. Para
migrant ini yang diperkirakan menjadi nenek moyang manusia yang mendiami daratan
Sulawesi termasuk di Kepulauan Muna dan Buton bagian Tenggara Pulau Sulawesi.
Saat ini.
Kedatangan para migrant itu tentu membawa serta kebudayaan mereka
dari negeri asalnya termasuk bahasa. Bahasa
para pendatang itu kemudian berasimilasi dengan bahasa penduduk lokal yang
terlebih dahulu mendiami Pulau Muna yang datang sekitar 25.000 tahun SM (
Migran pertama tersebut diperkirakan telah mengalami kepunahan ). Dari
percampuran dua bahasa ( migrant sekitar tahun 4.000 SM dan migrant sekitar
25.000 tahun SM ) tersebut kemudian tercipta bahasa baru yang dikenal saat ini
sebagai Bahasa Muna/ Wamba Wuna.
Dari Pulau Muna, Bahasa Muna / Wamba Wuna kemudian berkembang sampai
ke Pulau Buton dan pulau-pulau kecil disekitar kedua pulau tersebut. Penyebaran Bahasa Muna/ Wamba Wuna di Pulau Buton dan pulau-pulau kecil
disekitarnya di bawa oleh pendatamng dari Dataran Tinggi Yunan tesebut yang
terlebih dahulu menetap di Pulau Muna. Seiring dengan semakin berkembangnya
populasi mereka dan kuatnya keinginan untuk
mencari tempat baru untuk bertempat tinggal dan mencukupi kebutuhan
mereka, kemudian mereka bermigrasi ke
pulau-pulau yang dekat dengan Pulau Muna yaitu Pulau Buton dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya..
Di Pulau Buton, Bahasa Muna/
Wamba Wuna semakin berkembang dan bervariasi dari segi dialek setelah
kedatangan para pendatang dari Jazirah Melayu khususnya di daratan Pulau
Buton sekitar abad XIV Masehi. Pelopor para pendatang dari Melayu tersebut
dalam sejarah Buton dikenal sebagai Mia Pata Miana. Pengaruh bahasa para pendatang tersebut selain mempengaruhi
dialek, memperkaya kosa kata Bahasa Muna/ Wamba Wuna, juga melahirkan bahasa
baru yakni Bahasa Wolio dan Bahasa Cia-Cia.
Bukti kuat bahwa Bahasa Muna/ Wambha Wuna telah menjadi
bahasa tutur masyarakat di Kepulauan Buton dan Muna sebelum kedatangan para
pendatang dari Melayu sekitar abad ke 14 tersebut terungkap dari hikayat Mia Pata Miana.
Hikayat Mia Pata Miana ini menceritakan proses kedatangan manusia pelopor para imigran dari Melayu yang
kemudian kembangun peradaban baru di Pulau Buton. Menurut hikayat ini, jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk dan
kedatangan para migrant dari Melayu, Pulau Buton telah berpenghuni yang
memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi diantara mereka. Penulis berasumsi
bahasa bahasa tutur penghuni Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/ Wambha
Wuna.
Memang, belum ada literature sebelumnya yang
mengatakan bahwa bahasa tutur penghuni Pulau Buton sebelum kedatangan para
migrant dari Melayu adalah Bahasa Muna/ Wambha Wuna. Namun kalau melihat fakta di
mana sebaran wilayah penutur Bahasa
Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton yang begitu luas serta di setiap
wilayah yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana, penduduknya sampai
saat ini menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna, sedangkan masyarakat lain yang
berhubungan dengan migrant dari Melayu belakangan justru menggunakan Bahasa
Wolio dan Cia-cia. maka dari penulis
dapat pastikan bahwa bahasa penduduk Pulau Buton saat itu adalah Bahasa Muna/
Wambha Wuna. Sedangkan Bahasa Cia-cia dan Wolio adalah bahasa baru yang
terbentuk akibat asimilasi antara Bahasa Muna dengan bahasa para pendatang dari
Melayu itu. Asumsi penulis ini berdasarkan fakta dimana wilayah di Pulau Buton
yang menggunakan Bahasa Wolio dan Cia-cia adalah wilayah yang dipilih oleh para
pendatang itu untuk membangun peradaban baru sampai membangun kerajaan baru
yakni Kerajaan Wolio.
Berbeda dengan asumsi penulis, beberapa literature
sejarah yang ditulis oleh para sejarawan Buton
mengatakan bahwa masif nya wilayah sebaran penutur Bahasa Muna/ Wambha Wuna di jazirah Buton
terjadi pada awal abad ke 16 Masehi. Hal
itu bersamaan dengan menjadinya La Kilaponto Raja Muna ke – 7 sebagai
penguasa di Kerajaan Wolio yang kemudian
di rubahnya menjadi Kesultanan Butuuni Darussalam atau saat ini di kenal dengan
Kesultanan Buton. Dalam literature itu dikatakan, bahwa masyarakat di Kerajaan
Muna yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna sebagai bahasa tutur mereka,
dibawah serta oleh Raja La Kilaponto untuk membantu beliau dalam memerangi
Labolontio, bajak laut yang memporak porandakan kerajaan Wolio ( sebelum La
Kilaponto menjadi raja ) dan sisa-sisa pasukannya.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya Bahasa
Muna/ Wambha Wuna di Pulau Buton dibawa oleh Orang Muna yang lari meninggalkan
Kerajaan Muna untuk mencari perlindungan di Kerajaan Wolio. Namun argumentasi
tersebut terbantahkan dengan adanya fakta di mana justru pada masa itu Kerajaan
Wolio lah yang dalam kondisi tidak aman
karena gangguan bajak laut yang dipimpin oleh Labolontio. Kerajaan Wolio
menjadi aman, setelah Raja Muna Sugi Manuru menugaskan Puteranya yang bernama
La Kilaponto untuk menumpas Labolontio yang telah membuat Kerajaan Wolio
diambang kehancuran sekaligus menjadi raja di kerajaan itu ( mengenai proses
penugasan La Kilaponto menumpas Labolontio sekaligus menjadi raja di Kerajaan
Wolio akan diulas pada Bab Sejarah Peradaban Orang Muna ).
Berbeda dengan di Pulau Buton, Bahasa para pendatang dari Melayu itu
tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan Bahasa Muna/
Wamba Wuna di Pulau Muna. Olehnya itu, di daratan Pulau Muna hanya ada satu bahasa yang dipakai oleh
penduduknya yakni Bahasa Muna/ Wamba Wuna. Padahal secara historis, wilayah
Pulau Muna terbagi dua yaitu wilayah Pulau Muna bagian Utara dibawah
pemerintahan Kerajaan Muna dan Pulau Muna bagian Selatan di bawah pemerintahan
Kesultanan Buton. Secara teori, seharusnya wilayah Pulau Muna yang masuk dalam
wilayah administrasi Kesultanan Buton masyarakatnya menggunakan Bahasa Wolio
yang di klaim sebagai bahasa persatuan Kesultanan Buton. Namun faktanya tidak,
masyarakat disana justru sampai saat ini tetap menggunakan Bahasa Muna/ Wambha
Wuna sebagai bahasa tutur mereka. Bandingkan dengan wilayah Pulau Buton bagian
Utara yang masuk dalam administrasi Kerajaan Muna yang masyarakatnya sampai
saat ini tetap menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Tidak terjadinya pembentukan bahasa baru dari asimilasi
antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan bahasa yang dibawa oleh para pendatang
dari melayu tersebut disebabkan karena para pendatang dari Melayu tersebut, tidak
menetap dan membangun peradaban baru sebagai mana yang mereka lakukan di Pulau
Buton ( Mengenai sejarah pemebntukan peradaban baru oleh para pendatang dari
Melayu di Pulau Buton akan di ulas pada pembahasan Sejarah Peradaban Orang Muna
). Pengaruh yang terlihat dari asimilasi antara Bahasa Muna/ Wamba Wuna dengan
bahasa para pendatang dari Melayu hanya sebatas terjadinya perbedaan dialek
antara daratan Pulau Muna bagian Utara (ex Wilayah Kerajaan Muna ) dan Pulau
Muna bagian Selatan ( ex Kesultanan Buton ). Selain itu terjadi juga penyerapan
beberapa kosa kata Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna.: Berikut
beberapa contoh bahasa melayu yang diserap kedalam Bahasa Muna/ Wamba Wuna :
Bahasa
Muna/Wamba Wuna
|
Bahasa Melayu
|
Bahasa
Indonesia
|
langka
|
langka
|
jarang
|
parigi
|
perigi
|
Saluran air, got
|
Rusa
|
rusa
|
Rusa/ jonga
|
Nea
|
nama
|
nama
|
karambau
|
kerbau
|
Kerbau
|
Rene Van Deberg mengungkapkan bahwa sekitar
abad ke - 16 atau ke – 17 bangsa Portugis dan Spanyol membawa tanaman jagung di
Pulau Muna. Lama
kelamaan jagung menjadi makanan pokok di Muna. Terkait itu maka muncullah puluhan kosakata baru dalam Bahasa
Muna/ Wamba Wuna yang berkaitan dengan pertumbuhan, produksi, dan konsumsi
jagung sebagaimana yang dapat di lihat
pada table berikut :
kahitela
|
jagung [kata ini
berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis Castela, nama
daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar abad ke-10 sampai
ke-18;
bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang sama, walaupun merujuk pada ubi] |
Kambuse
|
Biji jagung (tua atau muda )
yang direbus
|
Kapusu
|
Biji jagung (tua ) yang
direbus pakai kapur sehingga kulit arinya terlepas
|
Kamperodo
|
Buah jagung (muda) yang dimasak
dengan kulitnya (ujung atas dan bawah dipotong,
kulit luar sebagian dikeluarkan) |
kantiniwua
|
jagung yang dimasak buahnya tanpa kulit
|
katungkukoro
|
bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung pembungkus
(kulit
|
kantubhi
|
buah jagung yang
berukuran di bawah sedang
|
angki
|
tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai
gadis tua
|
bhoka
|
buah jagung yang
isinya tersembul dari kulit
|
bhokolo
|
mengeluarkan kulit
jagung dengan pisau (untuk pembungkus)
|
ragi
|
sejenis jagung yang
bijinya berwarna ungu
|
Lero
|
Jamur (pada jagung)
|
Sumber : ( Rene Vandeberg, 2014: 123 )
C. pulasi
Penutur Dan Perkembangan Bahasa/ Wamba Wuna
Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa
Muna sebagai bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan
bahasa kedua penutur terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis
penyebaran penutur kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga
sebarannya di daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna
Penuturnya tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau
Buton.
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa
Muna ternyata bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian
tenggara tetapi di sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene
Van Denberg tidak menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh
maasyaarakat Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana
proses penyebarannya.
Mungkin saja penyebaran bahasa Muna di Pulau
Ambon dan Kepulauan Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja
Muna VI Sugi Manuru. Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah
seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular
berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan
ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna
kemudian berlayar menuju Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam
pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti menumpang pada dua buah kelapa.
Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian
menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai dimana dia
terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama
menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi
budaya.
Walaupun
secara populasi cukup banyak dan sebaran wilayah penuturnya yang luas, bukan
berarti bahasa Muna sudah dapat dikatakan aman . Bahkan beberapa ahli
mengelompokan Bahasa Muna, Wambha Wuna dalam kategori rawan. Hal itu disebabkan
minoimnya literature atau dokumen yang menggunakan Bahasa Muna/ Wambha Wuna.
Mengutip
Rene Vandeberg dalam “ Juara Satu
Dan Dua:
Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia
Dan Papua Nugi “ yang di muat dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,dengan kode ISSN: 0215-4846 Volume ke-32, No. 2
pada bulan Agustus 2014 , Orang yang pertama menulis mengenai bahasa Muna adalah Nikolaus Adriani (1865-1926), seorang ahli bahasa daerah Sulawesi pada zaman kolonial. Selama keberadaannya di Sulawesi (yang disebut Celebes pada waktu itu), dia juga sempat menulis satu bab dalam bahasa Belanda mengenai bahasa Muna dalam bukunya tentang situasi kebahasaan di Sulawesi dan Halmahera (Adriani dan Kruyt 1914). Orang yang
kedua yang meneliti bahasa Muna adalah orang Muna sendiri yang bernama Hanafi (1938- 1993). Hanafi (1968) adalah skripsi mengenai pronomina, aspek yang rumit dalam Bahasa Muna. Orang yang ketiga ialah La Ode Sidu, yang kemudian menjadi pakar bahasa Mun dengan beberapa terbitan, termasuk skripsi S1, S2, dan disertasi S3 (La Ode Sidu 2003).
Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia
Dan Papua Nugi “ yang di muat dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,dengan kode ISSN: 0215-4846 Volume ke-32, No. 2
pada bulan Agustus 2014 , Orang yang pertama menulis mengenai bahasa Muna adalah Nikolaus Adriani (1865-1926), seorang ahli bahasa daerah Sulawesi pada zaman kolonial. Selama keberadaannya di Sulawesi (yang disebut Celebes pada waktu itu), dia juga sempat menulis satu bab dalam bahasa Belanda mengenai bahasa Muna dalam bukunya tentang situasi kebahasaan di Sulawesi dan Halmahera (Adriani dan Kruyt 1914). Orang yang
kedua yang meneliti bahasa Muna adalah orang Muna sendiri yang bernama Hanafi (1938- 1993). Hanafi (1968) adalah skripsi mengenai pronomina, aspek yang rumit dalam Bahasa Muna. Orang yang ketiga ialah La Ode Sidu, yang kemudian menjadi pakar bahasa Mun dengan beberapa terbitan, termasuk skripsi S1, S2, dan disertasi S3 (La Ode Sidu 2003).
Mulai
tahun 1980-an juga diterbitkan beberapa karya ilmiah mengenai bahasa Muna yang
dikeluarka oleh Pusat Bahasa di Jakarta. Kami sendiri menulis tata bahasa Muna
(van den Berg 1989),
kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi Muna- ndonesia 2000, cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai bahasa Muna, seperti situasi dialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari bahasa Belanda, ketransitifan, deiksis, dan juga dialek Muna selatan. Awal tahun 1990-an dibentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 125 bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 991). Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapi
sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode irad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini).
kamus Muna (bersama La Ode Sidu, versi Muna-Inggris 1996, versi Muna- ndonesia 2000, cetakan kedua 2013), dan beberapa karangan ilmiah mengenai bahasa Muna, seperti situasi dialek Muna, fonologi historis, kata serapan dari bahasa Belanda, ketransitifan, deiksis, dan juga dialek Muna selatan. Awal tahun 1990-an dibentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014 125 bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 991). Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapi
sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode irad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini).
Pada
tahun 1989, Rene Van Deberg yang
melakukan penelitian terhadap Bahasa Muna/ Wambha Wuna memperkirakan penutur
Bahasa Muna di Kabupaten Muna ( yang ada di daratan Pulau Muna bagian Utara dan
Pulau Buton bagian Utara dan saat ini telah menjadi 3 kabupaten yakni
Kabuopaten Muna, Muna Barat, dan Buton Utara ) yakni
sekitar 300.000 penutur,. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan Bahasa Muna/ Wambha Wuna betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat.
sekitar 300.000 penutur,. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan Bahasa Muna/ Wambha Wuna betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat.
Pengkategorian
yang dilakukan oleh Rene tersebut, tidak mempeerhitungkan penutur Bahasa Muna/
Wamba Wuna yang ada di Kepulauan Buton ( saat ini telah menjadi 2 Kabupaten dan
1 Kota, yakni Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan
Buton Selatan ) dan pentur Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang ada di Pulau
Muna Bagian Selatan yang saat itu masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten
Buton. Rene juga tidak memotret penduduk Kota Kendari yang berasal dari
Kabupaten Muna dan Kabupaten lain yang
masyarakatnya bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang saat ini di
perkirakan berjumlah sekitar 25.000 jiwa.
Berikut
table daerah ( Kabupaten dan Kota ) yang
penduduknya dalam keseharian bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna :
Kabbutaten/ Kota
|
Kecamatan/Pulau
|
Perkiraan Jumah Penutur
|
Muna
|
Seluruh Kecamatan dan Pulau
|
300.000
|
Muna Barat
|
Seluruh Kecamatan dan Pulau
|
75.000
|
Buton Utara
|
Kec.
Wakorumba Utara, Bone Gunu, Kambowa
|
15. 000
|
Baubau
|
Kec.
Betoambari,Lealea, Bungi
|
40.000
|
Buton
|
Kec.
Kapontori, Kamaru,
|
25.000
|
Buton Selatan
|
Kec.
Batauga, P.Batu Atas, P.Kadatua, P. Siompu
|
30.000
|
Buton Tengah
|
Seluruh Kecamatan di Buton Tengah
|
75.000
|
Kendari
|
Tersebar
di seluruh Kota Kendari
|
25.000
|
Total
|
585.000
|
D.
Basaha
Muna/ Wamba Wuna, Bahasa Kebangsaan di Kesuktan Buton Dan Kerajaan Muna?
“Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian dikatakan JS. Badudu, seorang pakar
bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik dialek
Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS.
Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya
itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat
bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi
jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat
dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu
bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas
orang yanng menggunakan bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS. Badudu menekankan penggunaan bahasa
dengan eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme
moderen di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa, maka hal pertama
yang dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya
pada bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir
melingkupi seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi
bahwa Buton itu merupakan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau
mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton?
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi,
sebab berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton
selama ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal
berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio
hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6
Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna
( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan
Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar
( 1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak
memenuhi dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya
komunikasi. Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka
mustahil terjadi interaksi sosial. Jadi bagai mana suatu kelompok dapat
berkomunikasi dengan kelompok lain bila tidak saling memahami bahasa
masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan
penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania (
Sujano Sukanto, 1990:71-73).
Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa
merupakan identitas dan jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa
Wolio dapat dikatakan menjadi identitas dan jati diri Kesultanan Buton?
Badingkan dengan Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex
Kesultanan Buton. Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah
menjadi identitas dan jati diri Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk
menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan
untuk mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.
E.
AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan
bahwa bahasa Muna memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna
memiliki aksen sendiri-sendiri dalam pengucapannya seperti aksen Bosua,
Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga
aksen Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan
Batauga, pantai barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah
Katobengke-Topa-Sulaa dan Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa digunakan
oleh masyarakat ‘Siompu. Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan
Kapontori.
Aksen Kamaru digunakan oleh masyarakat di
Kecamatan kamaru kabupaten buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang
mendiami pulau Muna bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen
Pancana juga digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi
oleh lingkungan dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana
penggunanya sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi
dari dua atau beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya
saja Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang
menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan
masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti
melayu, jawa, arab dan lain-lain.
F.
PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam
pengucapannya tidak mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam kosa
kata bahasa muna tidak mengenal struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ).
Olehnya itu penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan
konsonan pada akhir pengucapannya maka selalu ditambah dengan vokal ( a,e,i,o,u
), atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal. Contohnya sandal,
dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’ sehingga
pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya
di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam
alfabet bahasa Muna asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Karena tidak
huruf ‘ C ‘ tersebut, maka bila masyarakat muna mengucapkan kata-kata yang
berasal dari kosa kata bahasa lain yang menggunakan huruf ‘C’, maka huruf ‘C’
tersebut di ganti dengan huruf ‘T’. Contohnya seperti dalam table berikut :
No
|
Kata Asli
|
Bila Diucapkan Oleh Orang Muna
|
1
|
Cantik
|
Tanti
(k)
|
2
|
Suci
|
Suti
|
3
|
Cowo
|
Towo
|
Namun berbeda dengan aksen Kaimbulawa dan pancana.
Pada aksen Kaimbulawa dan Pancana huruf C justerudigunakan untuk mengganti huruf
‘T’ pada aksen Muna asli. Hal itu seperti terlihat pada table
berikut :
No
|
Kosa Kata
Bahasa Muna Asli
|
Diucapkan
Dalam Aksen Kaimbulawa & Pancana
|
1
|
Ihintu ( Kamu )
|
Isincu
|
2
|
Kuta ( Kutang/ BH )
|
Kuca
|
3
|
Titi ( Payudara )
|
C ic i
|
4
|
Suta ( piring kaleng )
|
Suca
|
Penggunaan Hurup ‘C’ dalam pengucapan bahassa
Muna tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia. Hal
ini dapat dimungkinkan karena masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam
pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat
dengan masyarakat yang menggunakan
bahasa Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi perpaduan bahasa
kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’
tersebut dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama mempengaruhi
masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat
pengguna bahasa wolio. Sugeng mengatakan bahwa bahasa juga dapat member pesan
seseorang atau komunitas tersebut bersentuhan dengan dunia luar dari beragamnya
kosa kata suatu kata ( Sugeng, 2015: 160 ).Dari fakta itu sehingga tidak heran
bila masyarakat yang menggunakan bahasa muna dengan dialek Pancanan adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan
Wolio yang mana masyarakatnya menggunakan bahasa Wolio dalam berkominasi sehari
hari seperti Katobengke, palabusa, bosuwa, dan Pulau makasaar.
G.
Abjad
Ada beberapa Abjad dalam bahasa Muna yang
berbeda dengan abjad latin, tapi memiliki kemiripan dengan abjad
aksara Arab dan sangsekerta. Abjad yang dimaksud adalah Gh dan dh ( Abjad Arab
) dan bh ( Sangsekerta ) . Kemiripan abjad dalam Bahasa Muna dengan Abjad dalam
Bahasa Arab dan Sangsekerta tersebut menurut asumsi beberapa kalangan,
merupakan gambaran kedekatan hubungan pergaulan masyarakat Muna dengan
masyarakat Arab dan Sangsekerta. Dari kedekatan tersebutlah kemudian
mempengaruh kebudayaan masyarakat Muna termasuk dalam penggunaan Bahasa.
Walau ada beberapa abjad dalam bahasa muna yang
memiliki kesamaan dengan abjad dalam bahasa arab, namun tdak bisa dikatakan
bahwa Bahasa Muna masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bahasa Arab. Hal
ini diperkuat dengan ada pula beberapa abjad dalam Bahasa Arab yang tidak di
kenal dalam Bahasa Muna misalnya huruf, J, Y, DZ, TH dan Z. Demikian juga
dengan Bahasa Sangsekerta,
Dalam Abjad Bahasa Muna tidak mengenal huruf C, J, X,
Q, Y dan Z. Tidak adanya huruf – huruf tersebut lah yang membedahkan antara
abjad Bahasa Muna dengan Abjad yang dikenal dalam Bahasa Arab dan Sangsekerta.
Adapun abjad dalam bahasa muna (bahasa Muna Kuno) adalah sebagai berikut:
A a B b D d E e F f
G g H h I i K k L l
M m N n O o P p R r S s T t U u Ww DH dh GH gh BH bh
M m N n O o P p R r S s T t U u Ww DH dh GH gh BH bh
Bahasa Muna/ Wamba Wuna, juga merupakan bahasa yang paling banyak di teliti oleh para ilmuwan termasuk ilmuwan manca negara. Berikut kami sampaikan nenerapa buku/artikel yang berkaitan dengan Bahasa Muna/Wamba Wuna :
1. Beberapa aspek morfologi kata kerja bahasa Muna oleh René van den Berg, Lontara. Majalah Universitas Hasanuddin34 (1987), pp 43-52. Karangan ini membahas soal kata kerja, termasuk tiga kelas kata kerja, perbedaan realis dan irealis, dan penggeseran kelas karena objek tentu. Tulisan ini disajikan pada Bulan Bahasa di Ujung Pandang (Makassar) pada bulan November tahun 1985.
( lihat | download )
( lihat | download )
2. Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Muna oleh Lydia van den Berg-Klingeman, Lontara. Majalah Universitas Hasanuddin 34 (1987), pp 5-25. Karangan ini membandingkan pembentukan klausa relatif dalam Bahasa Muna dan Bahasa Indonesia. Karangan ini disajikan pada Bulan Bahasa di Ujung Pandang (Makassar) pada bulan November tahun 1986.
( lihat | download )
( lihat | download )
3. Dialek Bahasa Muna dan Bahasa sekitarnya oleh René van den Berg diterbitkan pada tahun 1991 dalam Ray Harlow (ed) VICAL 2. Western Austronesian and Contact Languages. Papers from the Fifth International Conference on Austronesian Linguistics. Auckland: Linguistic Society of New Zealand. Pp. 21-51. Isinya mengenai dialek Muna dan bahasa sekitar daerah Muna-Buton.
( lihat | download )
( lihat | download )
4. Fonologi Historis Bahasa Muna oleh René van den Berg diterbitkan pada 1991 dengan judul “Muna historical phonology” in: J.N. Sneddon (ed.) Studies in Sulawesi linguistics. Part II. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. NUSA volume 33, pp. 1-28. Isinya mengenai perubahan bunyi yang terjadi dalam sejarah bahasa Muna dari protobahasa Malayo-Polynesia sampai bahasa Muna sekarang. ( lihat | download )
5. Kosa kata Muna yang dipinjam dari Belanda oleh René van den Berg diterbitkan pada 1995 dengan judul “Forestry, Injections and Cards: Dutch loans in Muna”. In: Connie Baak, Mary Bakker and Dick van der Meij (eds) Tales from a concave world. Liber amicorum Bert Voorhoeve. Leiden: Projects Division Department of Languages and Cultures of South-East Asia and Oceania. Pp. 191-215. Dalam karangan ini diuraikan semua kata dalam bahasa Muna yang berasal dari Bahasa Belanda, seperti dotoro, ndoro, oto, buseese dll. ( lihat | download )
6. A Gramar Of The Muna Language/ Kamus Bahasa Muna Oleh Rene Van Den berg ( Lihat ! Down;oad )
6. Pembuatan Kamus Muna by René van den Berg diterbitkan pada 2001 dengan judul “Lexicography in the field: methods and results of the Muna dictionary project”. Notes on Linguisticsvol. 4/3, pp. 157-171. ( lihat | downlo
Komentar
Posting Komentar
Komentar anda sangat di butuhkan perbaikan blog ini. Silakan berkomentar dengan santun, hindari komentar yang berbau SARA dan menyerang pribadi orang serta ujaran kebencian. Andimin tidak bertanggung jawab terhadap komentar yang berbau SARA, menyerang pribadi orang dan mengadung ujaran kebencian dari pengunjung.