KONFLIK DI WILAYAH PANTAI TIMUR SULAWESI; Hubungan Muna dan Buton


Artikel ini di copy paste dari artikel saudara LA ODE WIKRA WARDANA yang di muat pada grup Sejarah Dan Kebudayaan Muna pada hari SABTU, 29 DESEMBER 2018
Hubungan antar negeri-negeri di wilayah timur sulawesi memiliki sejarah yang panjang dan diwarnai dengan serangkaian kerjasama maupun konflik. Hubungan antara Muna dan Buton misalnya, sering diwarnai dengan ketegangan, sampai pada titik konflik yang berat. Konflik antara Muna dan Buton, memiliki pola yang serupa dengan yang dialami oleh Banggai dan Tobungku. Namun seringkali ada pihak-pihak dari luar yang cenderung turut melakukan intervensi dalam konflik tersebut, baik atas inisiatif mereka sendiri maupun atas permintaan dari negeri/kerajaan yang membutuhkan bantuan. Semua ini dipengaruhi oleh motif politik dan ekonomi.
Dalam membahas hubungan kedua negeri, berbagai kalangan memulai dengan pertanyaan pokok yaitu apakah Muna yang merupakan saudara dari Buton adalah kerajaan sendiri ataukah sebagai subordinasi dari Kesultanan Buton seperti yang diklaim oleh Buton? Konflik antara kedua negeri tersebut membuat masalah ini terbuka untuk interpretasi, hingga negara kolonial hindia belanda memutuskan untuk turun tangan mendukung Buton (Velthoen, 2002). Tapi ini adalah lebih cenderung ke persoalan perspektif. Meskipun tampak ada sedikit perselisihan mengenai posisi Kesultanan Buton sebagai pusat politik dan ekonomi, Kerajaan Muna tetap membantah klaim dari Buton sebagai wilayah kekuasaan/subordinasi Kesultanan Buton. Sampai saat ini hubungan historis Muna dengan Buton masih menjadi masalah yang emosional, dimana orang Muna tetap yakin pada pendiriannya bahwa Buton merupakan saudara kandung, bukan sebagai tuan. Dan sejak dulu kala baik orang Buton maupun Muna selalu memperingatkan siapa saja yang mempertanyakannya untuk tidak mempercayai versi sejarah yang lain. Bentrokan persepsi antara Muna dan Buton dalam tradisi lisan didukung oleh daftar panjang konflik hingga penyerangan yang terjadi antara keduanya yang dilaporkan dalam sumber-sumber dokumen Belanda. Ini menunjukkan bahwa ketika Kesultanan Buton dianggap sebagai pusat politik bergengsi, otoritasnya selalu ditantang.
Pada tahun 1630an dan akhir 1640an, Buton menjadi titik persaingan antara armada Ternate dan Makassar karena posisinya yang strategis dalam rute perdagangan Maluku, Makassar dan Jawa. Untuk menguasai titik strategis tersebut, tahun 1647 bangsawan ternate bernama Kaicil Ali ditunjuk oleh Sultan Ternate untuk menjadi pemimpin di Buton. Namun selang beberapa lama memimpin, ia mengalami kesulitan dalam mempertahankan otoritasnya karena adanya pemberontakan yang didukung oleh Makassar (Generale Missiven I).
Perjanjian Bungaya yang disepakati pada akhir abad 17 menempatkan Buton di luar dari lingkup kekuasaan Kesultanan Ternate, namun bagian-bagian dari Muna khususnya Lohia kembali diperselisihkan oleh Ternate pada awal tahun 1840-an karena sudah diklaim sebagai bagian dari kesultanan Buton (Besluit 20 Juni 1845 No. 15).
Konflik yang memanas antara kedua negeri (Muna dan Buton) membuat keduanya menolak atau berusaha untuk saling menghindari satu sama lain. Misalnya pada tahun 1743, Buton harus menolak untuk membantu VOC dalam misi rempah-rempah, karena ada orang-orang Muna yang menempati hutan-hutan yang dituju oleh VOC (Generale Missiven XI). Status Muna sebagai negeri yang merdeka dan otonom di pertengahan abad ke-18 sangat jelas terlihat ketika pada tahun 1757 kapal Belanda Rust en Werk kandas di dekat Muna dan dijarah oleh penduduk pesisir Muna, sehingga melanggar kontrak Buton dengan VOC. Dimata VOC, Buton dituduh telah melanggar perjanjian dengan VOC yang menetapkan bahwa Buton akan membantu kapal-kapal Belanda dalam kesusahan dan tidak akan menjarahnya. Olehnya itu VOC langsung memberikan sanksi kepada Sultan Buton dengan permintaan untuk membayar denda besar dalam bentuk uang dan budak. Namun Sultan Buton mengklaim bahwa itu bukanlah rakyatnya, melainkan rakyat kerajaan Muna lah yang telah menjarah kapal tersebut. Akhirnya, Raja Muna harus bertanggung jawab dan diminta untuk membayar kerugian dengan 70 budak, yang 66 di antaranya dibawa ke Makassar oleh VOC. Hal ini cukup menunjukan bahwa rakyat Muna tidak menjadi bagian dari pemerintahan Kesultanan Buton dan tidak terikat oleh hukum maupun aturan kesultanan Buton. (VOC 2882 f. 41a & Hikajat Landschap Boengkoe’, 1931)
Kasus yang tidak kalah menarik adalah bagaimana konflik internal antara Muna dan Buton turut dimanfaatkan oleh persekutuan beberapa bangsa luar dari tahun 1790 dan 1820. Misalnya saat armada pelaut dari Sulawesi Selatan, Tobungku dan Maluku bergabung dengan orang-orang Muna untuk melawan Kesultanan Buton.
Malang bagi Buton, lokasinya yang strategis juga dimanfaatkan sebagai salah satu rute utama armada pelaut dari Sulu (Filiphina) untuk ikut serta melakukan serangan. Konflik regional Muna-Buton menjadi semakin membesar karena dukungan beberapa kelompok pelaut yang bersekutu dengan masyarakat Muna. Misalnya pangeran Bugis bernama Arung Bakung yang menetap di Muna dan turut melawan Kesultanan Buton dengan bantuan armada laut Kesultanan Magindanao (Filiphina) yang berbasis di Toli-Toli pada kisaran tahun 1820. Karena intensitas serangan dari kelompok maritim kepada Buton semakin meningkat, Sultan Buton pun harus memperbaharui hubungan kerjasamanya dengan gubernur Belanda di Makassar. Sultan Buton mengirimkan delegasi khusus ke Makassar untuk meminta senjata dan amunisi kepada Belanda. Intensitas serangan kepada Kesultanan Buton pun menjadi berkurang dengan adanya aktivitas kapal perang Belanda dan seruan anti perang pada tahun 1840-an. Posisi Buton kemudian menjadi lebih kuat.
Saat itu Muna (Lohia) sebagai negeri tetangga Buton memiliki hubungan yang dekat dengan kelompok armada maritim Iranun dan Tobelo pada tahun 1790 hingga 1820, dimana hubungan eksternal tersebut cukup menjadi ancaman politik bagi Buton. Pada tahun 1740-an, Kesultanan Ternate menerima laporan tentang adanya konflik antara Buton dan Tobungku (Sulawesi Tengah). Konflik ini juga dipicu oleh Buton yang meminta pengakuan resmi bahwa Tobungku adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Tobungku memprotes pengakuan status ini dan bersikeras bahwa mereka (Tobungku) adalah wilayah kekuasaan langsung Kesultanan Ternate dan posisi Tobungku setara dengan Buton. Tobungku masih menganggap bahwa Buton adalah wilayah kekuasaan Ternate, sehingga jika Tobungku diklaim sebagai wilayah kekuasaan Buton, maka Tobungku merasa akan menyandang status yang lebih rendah, yaitu sebagai sub dari wilayah subordinasi Ternate.
Peran Kesultanan Ternate dalam mengelola urusan internalnya dan juga wilayah-wilayah subordinasinya dibawah pengaruh VOC tidaklah mudah. Ternate menghadapi kesulitan untuk menyelesaikan berbagai sengketa wilayahnya. Konflik antara Tobungku dan Buton sangat rumit ditambah dengan klaim pihak Ternate terhadap sebagian wilayah Muna (Tiworo dan Lohia). Konflik semakin dipersulit dengan kehadiran Penati, seorang panglima perang Ternate yang membelot dari Ternate setelah pemberontakannya melawan VOC pada tahun 1680.
Penati mengasingkan diri dan menetap di Tobungku, dan dia terus menghasut masyarakat untuk melawan VOC. Sejarah klaim Ternate di Muna mengingatkan pada perang Ternate melawan Makassar pada pertengahan abad 17, ketika pasukan Ternate secara kuat mengakar di Muna. Posisi strategis Lohia di Muna yang berada di selat Buton memberikan keuntungan dalam penyerangan, dan disaat yang sama memberikan kerugian pada Buton, dimana armada Buton rentan terhadap serangan armada dari Lohia-Ternate. Lohia merupakan daerah maritim yang terkenal di Muna. Daerah ini pada awal abad 20 merupakan daerah yang paling padat penduduknya, meskipun memiliki kesulitan pada akses air bersih dan kondisi tanahnya yang tidak subur (Boll, 1913).
PENGARUH ARUNG BAKUNG
Pada abad ke-19, teluk Kendari yang terlindung dan dekat dengan kawasan pencarian ikan bagi orang Bajo menjadi tempat yang ideal untuk melakukan perdagangan teripang. Arung Bakung, seorang bangsawan Bone, menetap di Kendari dan kehadirannya menarik banyak pedagang teripang dan orang Bajo untuk datang ke teluk kendari. Arung Bakung adalah bangsawan Bugis dari Bone, yang mengasingkan diri karena berkonflik dengan Raja Bone yang merupakan kerabat dekatnya. Setelah pindah dari Sulawesi Selatan, ia mulai menetap di Teluk Kendari, dan kemudian ia pindah lagi ke Muna.
Di Muna ia ikut melakukan perlawanan terhadap Buton. Arung Bakung menghentikan upayanya melawan Buton pada tahun 1822 karena kekurangan dukungan armada laut, sehingga ia mundur dan kembali ke Kendari atas permintaan Tebau, Raja Laiwui. Kehadirannya di Teluk Kendari menarik perhatian para orang Bajo dan pedagang, sehingga turut membawa kemakmuran bagi kawasan pesisir Laiwui. Arung Bakung terkait erat dengan Tuanna-I-Dondang alias Sarib Ali, seorang aristokrat Makassar yang kuat dari keturunan Arab, yang memiliki jaringan sangat luas, dan bersekutu dengan Kesultanan Magindanao (Filiphina) diToli-toli dan Raja Tobungku (Sulawesi Tengah). (J.J.Dormeier, 1947. & A. Ligtvoet, 1878).
Setelah kepergian Arung Bakung dari Kendari, orang Bajo lalu bubar lagi dan meninggalkan teluk Kendari. Perdagangan teripang di Teluk Kendari setelah ditinggal oleh Arung Bakung pun ikut bubar. Siklus yang sama terulang kembali ketika Vosmaer tinggal di Teluk Kendari. Dalam waktu beberapa bulan, ratusan orang Bajo ikut pindah ke teluk tersebut, dan banyak pula orang lain dari negeri tetangga yang juga ikut tinggal disana. Vosmaer melaporkan bahwa orang Bajo yang dia temui di kawasan pesisir timur Sulawesi berulang kali memintanya untuk menjadi pelindung mereka dan juga memintanya untuk menetap di Teluk Kendari sehingga mereka dapat berkumpul di sana, seperti yang mereka lakukan ketika Arung Bakung tinggal di sana. (ANRI Ternate 180 & J. N. Vosmaer, 1839).
Dalam perjalanan hidupnya, Arung Bakung menikahi puteri Raja Tiworo, sehingga dari pernikahan tersebut ia semakin berpengaruh secara politik di wilayah Tiworo. Saat Arung Bakung pindah kembali ke Kendari, ia menikahkan La Sambawa puteranya, dengan puteri dari Tebau (Raja Laiwui) bernama Maho. Hasil pernikahan ini kemudian melahirkan generasi penguasa Laiwui selanjutnya yaitu La Mango dan Sao-Sao. Dan dengan pernikahan itu Arung Bakung semakin menancapkan hubungan yang sangat erat dengan Kendari dan menguasai politik disana. Hubungan Arung Bakung dengan Muna (Lohia) juga tidak kalah eratnya, terlebih ketika puterinya bernama I Pasija Daeng Matene menikah dengan penguasa armada laut Lohia, La Ode Ngkada (Ligtvoet, 1878). Sehingga Arung Bakung menjadi sosok yang berpengaruh di wilayah Tiworo, Muna dan Kendari.
Kisah Arung Bakung menggambarkan sejumlah aspek yang berbeda terhadap hubungan lokal dan regional. Arung Bakung yang merupakan seorang bangsawan Bone yang mengasingkan diri keluar dari Bone mampu menjalin persekutuan dengan Raja-Raja setempat dimana ia berada. Kekuatan kerajaan tersebut juga ia tingkatkan melalui hubungannya dengan jaringan pelaut dan perdagangan regional yang ia miliki. Arung Bakung ikut berpartisipasi dalam konflik antara Muna dan Buton, tetapi tidak dapat ia lanjutkan, karena dukungan dari pelaut Magindanao yang membantunya, di serang oleh Belanda.
Pada awal abad 19, kelompok-kelompok Kesultanan Magindanao dan pelaut Balangingi (Filiphina) telah membentuk persekutuan di Muna untuk membantu dalam konflik dengan Buton. Basis Kesultanan Magindanao di Toli-toli adalah bagian dari jaringan regional bangsa pelaut Iranun. Mereka juga beroperasi di jaringan persekutuan yang sangat lokal, antar wilayah-wilayah kecil. Selain bersekutu dengan Raja Toli-toli, Kesultanan Magindanao juga bersekutu dengan Tuanna-I-Dondang di Sulawesi Selatan. Melalui jaringan dari Tuanna-I-Dondang mereka terhubung dengan Tobungku dan pemukiman di kepulauan Buton. Tuanna-I-Dondang-lah yang mendorong Arung Bakung untuk melakukan serangan melawan Buton dari markasnya di Muna.
Tuanna-I-Dondang menjanjikan bantuan dari kesultanan Magindanao di Toli-toli kepada Arung Bakung. Namun Kesultanan Magindanao tidak dapat menepati janjinya, karena disaat yang sama ekspedisi Belanda berhasil melawan Toli-toli pada tahun 1822. Akibatnya, Arung Bakung tidak cukup mendapat bantuan dan kekuatan, hingga dia harus meninggalkan serangannya melawan Buton dan kembali ke Kendari.
Dibandingkan dengan seabad sebelumnya, konflik lokal yang melibatkan Buton telah bergeser dari konflik dengan Tobungku ke konflik dengan Muna. Perkembangan ini terkait erat dengan keterlibatan pihak-pihak luar seperti Arung Bakung dan jaringan pelaut lainnya dimana ia menjadi bagiannya. Namun demikian, pola persekutuan eksternal masih dibentuk oleh pertentangan antara Tobungku dan Buton, karena Tobungku tetap bersekutu dengan Magindanao dan Tobelo yang menyerang Buton. Berbagai tantangan serius yang dihadapi oleh Buton dari wilayah sekitarnya pada dekade terakhir abad ke-18 dan juga dari musuh-musuh dari luar, membuat Sultan Buton memperbaharui hubungannya dengan Belanda.
Konflik dengan Muna yang telah berkobar di pertengahan 1750-an kembali terjadi lagi pada 1790, tetapi dengan keterlibatan pihak ketiga. Sultan Buton mengeluh kepada Belanda bahwa para migran dari Bone yang menetap di Muna telah membantu membuat konflik semakin memanas.Kepulauan Buton secara rutin diserang oleh Tobelo dan Galela (Comite Oost-Indische Handel en Bezittingen 1791-1800).
Buton diserang pada tahun 1794 oleh perampok tak dikenal, dan pada tahun berikutnya Muna dan Buton saling bersitegang kembali satu sama lain (Geheim Verbaal 5 October 1848). Pada tahun yang sama, rombongan pembesar dari Buton dikirim ke Makassar untuk memperbarui kontraknya dengan VOC, dan kontrak tersebut diperkuat dengan sumpah. Tahun berikutnya rombongan pembesar lain dikirim lagi ke Makassar untuk menyatakan rasa terima kasih kepada VOC atas pembaharuan kontrak. Namun situasi eksternal yang mengancam Buton terus berlanjut. Antara tahun 1794 dan 1796 Buton menghadapi serangkaian masalah, antara lain serangan berulang kali dari armada pelaut asing, ketegangan baru dengan Muna, dan ancaman dari kapal perang Inggris. Pada tahun 1798 Kesultanan Buton kembali mengajukan permintaan amunisi kepada VOC untuk menghadapi Muna, namun ditolak. (Velthoen, 2002).
Ketika Belanda digantikan oleh Inggris selama Perang Napolean (perang napoleon 1803 – 1815), Buton memanfaatkan situasi baru ini untuk mendapatkan pengakuan Inggris atas klaimnya di wilayah pantai timur sulawesi, dengan membuat kontrak baru pada tahun 1814. Dalam kontrak ini, Buton kemudian diakui oleh Inggris sebagai penguasa dari seluruh pantai timur sulawesi. Mendono, Banggai, Tobungku, Tiworo dan Kulisusu terdaftar sebagai wilayah subordinasi dari Kesultanan Buton, dan juga Muna yang telah terlibat dalam konflik panjang dengan Buton ikut dimasukkan secara sepihak.
Namun apakah pengakuan Inggris terhadap klaim Buton tersebut memiliki bobot atau pengaruh dalam konteks lokal bagi masyarakat muna itu masih tidak jelas, tetapi pola yang digunakan oleh Buton untuk memperbaiki posisi politiknya sebagai penguasa di wilayah pantai timur Sulawesi melalui pengakuan klaim atas negeri-negeri disekitarnya juga pernah dilakukannya pada akhir abad ketujuh belas dengan VOC. (Besluit 20 June 1845 No. 15). Ketika Belanda kembali berkuasa, Belanda membatalkan perjanjian tahun 1814 antara Inggris dan Buton. Dalam daftar wilayah subordinasi Kesultanan Buton tahun 1824, Tobungku dan Mendono (Banggai) tidak lagi disebutkan. Menariknya, Muna didaftarkan sebagai bagian wilayah Kesultanan Buton, bersama dengan Tiworo, Kabaena dan Kulisusu (Verbaal 22 January 1825 NO 49/46). Meskipun Buton banyak mengklaim dalam berbagai tulisan dokumen kolonial, Buton sendiri masih dalam keadaan yang tidak tenang. Schneiter mengatakan pada tahun 1825 bahwa Buton terus-menerus berkonflik dengan negeri tetangganya (Collectie Schneiter 125, Stukken betreffende Celebes).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LANGKU-LANGKU ( TATA CARA ) PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU MUNA

Kisah La Ode Wuna Di Negeri Muna ( Negeri Leluhurnya )