MEREKA BUKAN BAJAK LAUT

STIGMA DAN BIRAHI HEGEMONIC, SEBAGAI POLITIK DEGRADASI  PERAN PRAJURIT PERTAHANAN LAUT KERAJAAN MUNA

Oleh : Muhammad Alimuddin

Tidak ada satu pun kapal-kapal musuh yang luput dari pantauan mereka. Kapal – kapal VOC dan Ternate yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap pun dibuat tak berdaya. Seluruh muatannya, termasuk persenjataan yang diangkut kapal – kapal itu dilucuti.  Sedangkan penumpang dan awaknya dibunuh tiada ampun. Pun kapal dari kerajaan tetangga,  kerajaan yang didirikan oleh leluhur mereka sendiri yakni Kesultanan Buton, bila bermaksud jahat lewat diperairan kuasa mereka,  pasti dilucuti dan awaknya dibunuh.

Mereka bukan bajak laut, walau mereka disebut seperti itu oleh pihak-pihak yang mereka pecundangi. Mereka adalah prajurit- prajurit penjaga  kedauatan Kerajaan Muna disetiap pesisir laut Kerajaan Muna. Mereka sengaja ditempatkan oleh penguasa Kerajaan Muna untuk menghadang setiap kapal musuh yang mencoba merongrong kewibawaan Raja dan Negeri nya. Karena. seringnya mereka mempecundangi musuh-musuhnya,  sehingga prajurit-prajurit perkasa, benteng kokoh penjaga kehormatan negerinya itu di stigma sebagai ‘ bajak laut dan perompak ‘ oleh pihak-pihak yang dipecundangi tersebut.

Boll, Perwira militer Kolonial Belanda yang ditugaskan di Muna pada tahun 1906 dalam catatannya menulis bahwa sebelum tahun 1908, Muna adalah negara merdeka. Perairan Selat Buton dikuasai oleh perompak ( bajak laut ) Kerajaan Muna dan menjadikan perairan  tidak aman bagi siapa saja yang melaluinya termasuk Belanda sendiri. Siapapun yang melalui perairan itu akan dibajak dan dirampok oleh mereka. Penggambaran negeatif Boll tersebut terhadap kondisi sosio ekonomi masyarakat Kerajaan Muna pada waktu itu, tidak terlepas dari kondisi physikys umum pemerintah Kolonial Belanda yang tidak mampu menaklukan Kerajaan Muna secara langsung. 

DR tahun  1643, hal.84 dan 115 mengisahkan bahwa sebuah kapal perusahaan Otter menabrak sebuah karang di kepulauan Tukang Besi ( sekarang Wakatobi ) dan mnyebabkan kapal itu karam. Kapal yang bermatan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku itu hendak berlayar ke Batavia ( Jakarta ) melalui Makassar. Namun setelah berada dua hari terobang ambing di laut, kapten  Philip nakhoda kapal tersebut  dan beberapa penumpang dan kru kapal yang selamat  tidak ingin singgah  ke Makassar, tetapi langsung ke Batavia.

Lima hari kemudian,  para korban yang terombang ambing dilautan itu mencapai 'Pangesana', pulau Muna hari ini. Mereka berlabuh di sebuah desa bernama Selanca atau, Chalancka ( Wasolangka ). Desa itu dalam perjanjian Bongaya tahun 1667 di sebut Selansa.   Mereka  bermaksud mengisi cadangan air bersih untuk memenuhi kebutuhan  mereka selama dalam pelayaran. Namun apa di kata, bukanya mereka selamat tapi justru mereka menyetor nyawa mereka dan membawa jasadnya  untuk dikubur.  Tampa mereka sadari mereka telah masuk pada kandang macan yang telah memusuhi mereka. Sikap permusuhan masyarakat Muna terhadap Belanda  sejak ditandatangannya perjanjian Scoot-Elangi pada tahun 1613. Bagi masyarakat Muna Walanda/ Belanda adalah musuh yang telah memecah hubungan persaudaraan antara Muna dan Buton yang telah terjalin lama sejak Kesultanan itu di bentuk oleh Raja Muna La Kilaponto tahun 1541. Olehnya itu Belnda yang mencoba masuk atau yang sudah masuk di wilayah Kerjaan Muna harus di bunuh dan hartanya dirampas.

Merasa ini adalah kesempatan baik untuk membunuh musuh kerjaan, prajurit-prajurit penjaga periran barat Kerajaan Muna yang ditempatkan di Wasolangka menyusun strategi untuk menyerang walanda kafiri/ Belanda kafir itu. Pada malam hari prajurit Bharata Wasolangka  menggerebek rumah yang ditempati oleh orang-orang Belanda itu. dan membunuh semua orang. “ Ada  5 orang yang dapat melarikan diri dari penggerebekan itu, namun terus dikejar  dan akhirnya juga dibunuh. Yang selamat dari penggerebekan itu hanya seorang  reporter yang bernama Abraham Thomassen dari Amsterdam”.  Demikian laporan DR.

Pimpinan perusahaan Otter, Hans Jacobsen yang menjemput Abraham Thomassen di Bauabu menulis,  meskipun Thomassen telah mengalami  luka di dada, namun, ia bisa meloloskan diri dan lari bersembunyi didalam hutan selama tiga bulan mendatang. Dalam kondisi kelaparan akhirnya menembus sebuah desa, di mana ia menemukan 'orang-orang masih hidup seorang wanita dengan dua anak perempuan kecil, seorang Maardijker Maradika- golongan rakyat jelata “ .

Jacobsen tidak secara jelas menulis nama desa di mana Thomassen muncul setelah tiga bulan dalam pelariannya dalam hutan. Hanya saja kalau dilihat dari rentan waktu sejak dia melarikan diri dari penggerebekan itu sampai dia menemukan desa,  serta mudahnya dia menyeberang ke Baubau pusat pemerintahan Kesultanan Buton, maka dapat dipastikan bahwa desa itu adalah desa yang ada di Muna bagian selatan yang saat itu masuk dalam wilayah kekuasaan Kesutanan Buton. Sebagai catatan, ketika La Kilaponto, Raja Muna ke 7 Mendirikan Kesultanan Buton pada tahun 1541, dua wilayah dibagian selatan Pulau Muna yang sebelumnya menjadi bagian dari Kerajaan Muna, yakni Gu dan Mawasangka ikut dimasukan kedalam wilayah Kesultanan Buton. Sedangkan sebagai gantinya, dua kampung di Pulau Buton bagian selatan yaitu Wakorumba dan Kulisusu dimasukan kedalam wilayah Kerajaan Muna.  

Menurut catatan Hans Jacobsen, akibat penyerangan masyarakat Muna terhadap orang- orang Belanda di Wasolangka tersebut,  perusahaan Otter mengalami kerugian sekitar  fl.64.590.38 (Enam Puluh Empat Ribu Lima Ratus Sembilan Puluh  Gulden ) suatu jumlah sangat besar waktu itu.   Laporan mengenai insiden yang merugikan perusahaan milik pemerintahan Kerajaan Belanda ini dicatat pada Desember 1643 ,tetapi nanti tahun 1644 diterima di Batavia.

************************

Selain di Loghia dan Wasolangka, Kerajaan Muna juga menempatkan prajurit pertahanan lautnya di Laghontoghe tepat di perbatasan dengan Kesultanan Buton. Prajurit pertahanan laut Laghontoghe ini terkenal dengan pasukan berani matinya dari Labhora.

Pertahanan laut  Laghontoghe juga memiliki catatan sendiri mengenai sejarah patriotism prajurit-prajurit pertahanan lautnya.  Sejarah itu adalah adanya sebuah peristiwa besar,  dimana seorang pangeran Ternate menuntut untuk menjadi sultan Buton. Tuntutan itu berdasarkan perjanjian antara Ternate, Buton dan VOC, yang isinya setiap kali ada sultan Buton yang meninggal atau turun dari jabatannya harus dilaporkan ke Ternate dan VOC. Pun kalau ada sultan baru yang akan diangkat, juga harus atas persetujuan Belanda dan Ternate. Berdasarkan perjanjian itulah, bangsawan ternate itu merasa Buton adalah merupakan fatsal dari Ternate dan bangsawan ternate berhak untuk menjadi Sultan Buton. Pasca meninggalnya sultan La Awu, seorang bangsawan ternate berkeinginan untuk menggatikannya sebagai sultan..

Keinginan bangsawan Ternate itu sebenrnya  telah disetujui oleh dewan sara, namun sebagian bagsawa Buton menolak. Untuk menghindari kekecewaan dari putra bangsawan Ternate itu dan agar hubungan baik Ternate dan Buton tidak semakin memburuk, putra bangsawan tadi dijanjikan untuk menj adi raja Muna.

 

Kepadanya dijelaskan bahwa kedudukan antara raja Muna dan Buton adalah sama. kerajaan Muna adalah kerajaan yang berdiri sendiri bukan fasal dari kesultanan Buton.  Lagipula kerajaan Muna masih dibawah pengaruh kekuasaan Ternate. Atas perintah Dewan Syara Buton bangsawan Ternate berangkat ke kerajaan Muna dengan dikawal oleh sara Kesultanan Buton. Namun malang bagsawan Ternate itu terbunuh oleh kawanan bajak laut ( prajurit pertahanan laut yang bermarkas di Labhora ) dalam perjalanan  menuju kerajaan Muna ( Susanto, 1994 : 69 ).   

 

Rupanya,  stigma ; bajak laut ‘ tidak saja digunakan oleh Belanda, tapi sejarawan Indonesia juga ternyata masih menyematkan narasi negative itu pada  para patriot, prajurit pembela bangsanya itu dengan istilah yang merendahkan. Tujuan dari stigma itu sangat jelas, yaitu agar para pejuang yang patriot itu dicatat sebagai perompak yang rakus. Padahal faktanya, mereka-mereka yang dipecundangi itu memeliki persenjataan yang lengkap dan prajurit-prajurit terlatih, namun tidak kuasa menghadapi keperkasaan para pejuang itu yang hanya dibekali dengan ‘ lolabi ‘ senjata khas suku Muna dan perahu-perahu kecil yang dalam bahasa muna disebut ‘ bhangka ‘.  

 

Stigmatisasi itu juga tidak lepas dari birahi hegemonic Buton terhadap Muna. Dan stigma itu juga terus digunakan oleh penulis sejarah berikutnya. Walau seburuk apapun stigma pihak luar terhadap patriot-patriotnya, masyarakat Muna tetap mengenang mereka sebagai pahlawan yang menggadaikan nyawanya demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negerinya.

 

*************

 

Mereka  yang distigma itu bukanlah  bajak laut, mereka adalah  prajurit Armada Pertahanan Laut Kerajaan Wuna yang ditempatkan dalam tiga wilayah pertahanan laut yang di namakan “ Barata “ yaitu Barata Loghia ( yang paling banyak disebut dalam catatan colonial belanda ), Barata Laghontoghe yang dikenal dengan armada lautnya dari Labhora serta Barata Wasolangka ( dalam catatan belanda termasuk dalam perjanjian bongaya di sebut Chelangka ).

Ketiga Barata atau wilayah pertahanan laut itu dibentuk pada masa Raja Muna ke 8 La Posasu tahun 1541. Pembentukan wilayah pertahanan itu bersamaan dengan diresmikannya Pusat Kerajaan Wuna yang baru, yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Muna ke 7 La Kilaponto ( 1538-1541 ) yang saat itu telah mendirikan kesultanan Buton dan menobatkan diri sebagai Sulltan Pertama. Pusat pemeritantahan Kerajaaan Wuna yang baru itu di kelilingi oleh tembok yang disusun dari batu-batu cadas setebal 2-4 meter dan tinggi 2-7 meter ( sesusi dengan kontur tanahnya ) serta panjang 8,097 kilo meter.  

J. Couvreur, seorang controleur Belanda yang pernah bertugas di Raha ( 1933-1935 ) dalam Etnografisch Overzicht van Moena  ("Ikhtisar etnografis mengenai Muna") menulis, benteng yang merupakan tembok batu itu dalam pembangunannya dibantu oleh jin dan dedemit. Pernyataan Couvreur itu didapatkan dari catatan lisan masyarakat Muna yang dituturkan secara turun menurun. Sedangkan seorang antropolog berkebangsaan Belanda DR. E.J. Van Den Berg, yang melakukan penelitian terhadap bahasa Wolio dan kondisi sosio kultural wilayah – Keresidenan yang berada dalam Kewedanan Buton dan Laiwoi pada tahun 1936 – 1941, menulis bahwa Kota Wuna yang diklilingi oleh tembok batu memiliki luas yang jauh lebih besar daripada Wolio, pusat pemerintahan Kesultanan Buton.

Selain menulis tentang kondisi Kota Wuna,Van Den Berg juga menulis tentang Loghia salah satu Bharata dari Kerajaan Muna. Menurutnya, banyak keunikan yang terdapat di Loghia. Keunikan itu diantaranya adalah  dinding-dinding dari beragam jenis batu kadang-kadang ada cembung yang kadang-kadang cekung, dibuat dengan tangan manusia. Selain itu  ada juga sumur besar di kawasan sekitar masjid, yang menunjukkan dinding-dinding aneh yang sama. Keberadaan dinding-dinding itu serta sumur besar itu, tidak lepas dari peran Lohia yang dulunya  adalah pos terdepan oertahananKerajaan Muna. Van Den Berg menduga, keberadaan  dinding batu yang khas ini mungkin memiliki arti strategis sebagai pos terdepan pertahanan Kerajaan Muna.

Armada angkatan laut dimasing-masing Bharata dipimpin oleh seorang kapita lau atau Panglima Angkatan  laut sedangkan pemerintahan wilayah secara keseluruhannya dipimpin oleh “ Kino “, yang merupakan jabatan dari kaum bangsawan ( La Ode ). Di masa perang, Kapita Lau adalah tentara pangeran, yang menjadi penjaga pertahanan dan kemanan Negara ( Kerajaan ).

Dalam struktur pemerintahan kerajaan Muna, Kapitalauno  Bharata tidak masuk dalam struktur ‘ Sarano Wuna ‘ yaitu suatu badan tertinggi dalam system  pemerintahan kerajaan Muna. Badan ini memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan raja, menetapkan hukum serta menetapkan haluan negara. Walaupun demikian, setiap kali Sarano Wuna menggelar rapat/musyawarah, ketiga Kapitalau  Bharata diundang, Namun, mereka tidak bisa menyatakan pendapat dalam pertemuan itu.Mereka (Kapita Laut) hanya bisa mendengarkan.

Setelah keputusan ditetapkan oleh “ Sarano Wuna “, Kapitalau berkewajiban memastikan keputusan/ketetapan Sarano Wuna dilaksanan  di ketiga bharata tersebut. Mereka hanya diperintahkan untuk memastikan bahwa perintah sarano wuna  dilaksanakan dengan baik. Kendati demikia kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dalam mengamankan dan menjaga kedaulatan Kerajaan dari gangguan pihak luar di wilayahnya masin-masing, mereka dapat bertindak sendiri tanpa harus berkoordinasi dengan raja atau Sarano Wuna yang memberikan tugas pada mereka. Itulah pengabdian yang sesungguhnya.

 

**************

Karena independennya para Kapitalau itu dalam menjalankan kebijakannya, terkadang pihak luar menganggap mereka sebagai Raja Muna. Pihak luar, dalam hal ini, Ternate, Buton, Gowa bahkan Belanda bernggapan, bila berhasil mengalahkan salah satu Kapitalau Bharata, maka sudah mengalahkan Kerajaan Muna. Padahal di Kerajaan Muna ada tiga Bharata dan pusat kerajaan ada jauh di pedalaman yang tidak pernah dijangkau oleh pihak- pihak yang selalu mengklaim kerajaan Muna sebagai fatsalnya. 

Koloniaal Tijdschrift terbitan tahun 1913 memuat catatan Letnan Boll, seorang perwira militer Kolonial Belanda yang pernah menjadi penguasa militer di Kerajaan Muna. Dalam catatn itu, Boll mengisahkan bahwa setelah Belanda berhasil mengurus ( menguasai ) Buton, mereka juga berniat untuk mengurus Muna. Olehnya itu tahun 1906, untuk pertama kalinya direncanakan akan berlangsung pertemuan antara pihak kami (Belanda) dengan Kapita Laut Lohia yang akan dilaksanakan di dekat kampung Lohia. Namun Kapita Laut menolak untuk datang ke tempat pertemuan tersebut.

Saking kuatnya para komando pertahanan laut itu mempertahankan negerinya, sampai – sampai mereka dianggap sebagai Kerajaan sendiri. Bahkan dalam beberapa catatan, ketika Belanda, Buton dan Ternate berhasil mengalahkan salah satu dari tiga komando pertahanan laut itu, mereka langsung mengkalim kerajaan Muna. Padahal, komando- komando pertahanan laut itu hanyalah bagian kecil dari system pertahanan kerajaan Muna, dan Pusat pemerintahan kerajaan Muna sendiri berada jauh dipedalaman yang bernama Kotano Wuna.

Sepanjang sejarahnya, Kerajaan Muna tidak pernah menandatangani perjanjian apapun dengan pihak Kolonial Belanda. Pada tahu 1613, ketika Sultan Buton menandatangani perjanjian dengan Belanda, Raja Muna saat itu La Ode Ngkadiri secara tegas menolak perjanjian itu. Bahkan ketika Raja Muna La Ode Ngkadiri dipaksa untuk meratifikasi perjanjian itu, justru dia  menyatakan Buton dan Belanda sebagai musuh yang harus di perangi. Penolakan Raja Muna La Ode Ngkadiri untuk mengikatkan diri dalam perjanjian dengan Kolonial Belanda itu diikuti oleh raja-raja berikutnya.  .Keenggana raja-raja Muna itu selain mereka tidak percaya dengan Belanda, juga berkaitan dengan sumpah yang disumpahkan ketika Raja Muna dilantik.

Melihat hubungan antara Muna dan Buton yang tidak harmons lagi, Belanda mencoba memancing di air keruh. Politik devide et impera yang merupakan senjata yang paling ampuh untuk melakukan kolonisasi pada kerajaan-kerajaan di Nusantara terus digencarkan. Agar perang saudara terjadi, Belanda memberi dukungan pada Buton yang berkeinginan untuk menghegemoni Muna. Untuk itu, Gubernur Jenderal VOC di Batavia mengutus A. Ligvoet seorang antrapologi untuk menjadi Gezgheber di Buton pada tahun 1785- 1888. Tugas utama Ligvoet selain menjalankan pemerintahan sipil di Buton juga melakukan penelitian terhadap sosio kultur masyarakat Buton dan Muna.

Untuk itu,  Raja Muna La Ode Ngkadiri  bersama Dewan Kerajaan segera mengadakan rapat di Lambu Balano, istana Raja Muna  pada tahun 1628, yang memutuskan:

(1) Belanda dinyatakan tidak boleh masuk di Tanah Muna,

(2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda,

(3) Agar mendapat teman dalam menghadapi Koalisi Buton Belanda, Muna berkoalisi dengan Gowa serta memberi bantuan secara terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di Tiworo.

Sebagai markas komando koalisi Gowa-Muna dan Tiworo, Raja La Ode Ngkadiri menunjuk  Bharata Wasolangka.  Prajurit Kerajaan Gowa dalam menghadapi Koalisi Belanda-Buton dan Ternate mnjadikan Wasolangka lumbung pangan dan tempat berlindung. Hans Jacobsen ketika menjemput…… juga mencatat bahwa ketika dia berada di Baubau, dia melihat ada sekitar 500 orang prajurit Kerajaan Gowa yang berlabuh di Wasolangka. Sayangnya Hans Jacobsen dalam catatanya itu menulis bahwa kedatangan 500 prajurit Gowa itu untuk menangkap orang-orang una yang membunuh orang-orang Belanda beberapa bulan sebelumnya. Mereka yang akan ditangkap itu menurut Jacobsen akan  di hadirkan dipengadilan di Makassar. Namun pernyataan Hans Jacobsen itu mengada-ada karena pada tahun tersebut Gowa belum takluk kepada Belanda. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah pada saat itu adalah upaya Gowa untuk mengivansi Buton. Jadi kedatangan 500 prajurit Gowa di Wasolangka itu adalah merupakan persiapan untuk meyerang Buton. Hal itu sangat beralasan karena daerah yang paling dekat dengan Buton adalah Wasolangka. Selain itu, Raja Muna juga telah menyatakan perang terhadap Buton karena menerima kehadiran Belanda di Wilayahnya.

Kuatnya hubungan antara Kerjaan Gowa dan Kerajaan Muna, khususnya Wasolangka itu, sehingga Belanda mengira Kerajaan Muna khususnya Wasolangka sebagai taklukan Gowa. Hal itu tergambar jelas dalam narasi perjanjian Bongaya point 17 sebagai berikut :   

17. Ook sultan aan den Koning van Ternaten restitueeren in eygere wijze als in het 16 poinct, de geroofde menschen van de Xulas, en daar benevens 10 stukken ijser canon, 2 metale prince stukken en 3 bassen, ‘tzij met de selve die van daar gehaalt zijn, of andere in de plaatse, verklarende op selve Eylanden,  egeene pretentie te hebben of te houden, nevens die oprechtelijk renuncieerende, ten behoove van gemelte Koning van alle gepretendeerde eigendom op deEylanden Zaleyer, ende Pantsiano, als mede op de gantsche Oost kust van Celebes, te rekenen van Manado af tot aan Pantsiano toe. ‘dEylanden Bangay en Gapi, als andere de op de selve kust gelengen, daar onder mede begrepen, item tusschen Mandhar Manada, de landen van Lambagy, Caydiepa, Booltoly, van Dampellas, Balaysang, Silensa en Cayely, van ouds de Kroone van de welke de hooggemelde Regeeringe van Macassar oprechtelijk af ataat belovende nimmermeer na desen de Koning van Ternate daar inne te tubeeren.

Artinya :  17. Kepada Raja Ternate juga akan dikembalikan dengan cara yang sama seperti disebut pada point 16, orang-orang yang dirampas ( ditawan ) dari Xulas ( Sula ), bersama dengan 10 meriam besi, 2 buah Prince [?] dari logam, dan 3 meriam kapal kecil, atau barang yang sama yang diambil dari sana, atau yang lain sebagai penggantinya, dan menyatakan tidak ada atau tidak memiliki klaim pada pulau-pulau tersebut, dan juga menyangkal secara tulus, demi raja yang tersebut, semua milik yang  secara palsu diklaim pada pulau-pulau Zaleyer ( Selayar ), dan Pantsiano ( Muna ), begitu juga dengan seluruh pantai timur Celebes ( Sulawesi ), terhitung dari Manado sampai Pantsiano ( Muna ), pulau-pulau Bangai ( Banggai ) dan Gapi ( Gebe ), dan termasuk juga tempat lain pada pantai tersebut, sama halnya dengan ( pantai antara ) Mandhaar ( Mandar ) dan Manado, negeri Lambagy [?], Caydiepa ( Kaidipang ), Booltoly ( Baul-Toli), Dampellas, Balaysang, Selansa ( Wasolangka ) dan Cayely ( Kaili ), yang sejak dahulu menjadi hak milik Mahkota Ternate, Semua daerah yang disebut dilepaskn oleh pemerintah Macassar yang dihormati secara tulus, dengan perjanjian bahwa tidak pernah akan mengganggu lagi Raja Ternate dalam hal ini  ( Diterjemahkan Oleh Rene Van Den Berg tahun 2020 )

Jadi dari isi perjanjian itu sangat jelas bahwa wilayah yang diklaim secara palsu oleh Ternate dan Buton adalah Bharata Wasolangka bukan Kerajaan Muna. Namun apa motifnya narasi yang secara terang itu oleh beberapa penulis sejarah ditulis sebagai Kerajaan Muna. Kalau penyebutan Pulau Pantsiano ( Muna ) yang penyebabkan mereka mempersepsikan sebagai Kerajaan Muna, maka itu pun tidak benar  karena di Pulau Pantsiano/ Muna itu ada tiga kerajaan yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo dan Kesultanan Buton. Selain itu dalam perjanjian itu juga secara jelas di tulis suatu tempat di wilayah Pulau Pantsiano/Muna yaitu Selansa/Wasolangka, suatu wilayah pertahanan laut Kerajaan Muna.

Itulah sekelumit kisah patriotisme prajurit pertahan laut Kerajaan Muna yang perkasa mendapat ‘ stigma ‘ buruk dari pihak-pihak yang mereka pecundangi serta klaim palsu Buton dan ternate terhadap Kerajaan Muna. Semoga kisah ini meberi pencerahan bagi pembacanya. Kritik dan saran untuk perbaikan tulisan ini juga sangat kami harapkan.

Baubau, 31 Mey 2020

Muhammad Alimuddin

Pemerhati Sejarah Muna

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LANGKU-LANGKU ( TATA CARA ) PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU MUNA

Kisah La Ode Wuna Di Negeri Muna ( Negeri Leluhurnya )