DRS.H. LA ODE KAIMUDDIN : REINGKARNASI PERTAMA LA KILAPONTO
Drs, H. La Oe Kaimuddin dan Lakilaponto adalah dua putera terbaik Muna yang pernah menjadi tokoh setral di Jazirah Sulawesi bagian tenggara dimasanya masing-masing . Kedua tokoh ini sangat popular diseluruh lapisan kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara. Sebagai pemimpin, keduanya bekerja dengan sepenuh raga dan pikirannya dicurahkan hanya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Sulawesi bagian tenggara ini. Ide-ide pembangunan yang mereka jalankan jauh melampaui masanya sehingga dalam lembaram emas sejarah Sulawesi Tenggara keduanya dicatat sebagai tokoh visioner dan pendobrak yang bekerja secara out of the box.
La Kilaponto, Putera Sugi Manuru Raja Wuna ke 6 adalah Lakina Wolio ke 6 ( 1538 – 1541 ). Sebelum menjadi Lakina Wolio, La Kilaponto terlebih dahulu menjadi Raja Wuna menggantikan ayahnya yang sudah uzur. Setelah tiga tahun menjadi Raja Muna dan Lakina wolio secara bersamaan maka pada tahun 1541, La Kilaponto mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru yang berbentuk kesultanan yang bernama Kesultanan Wolio ( Buton ), sedangkan jabatannya di Kerajaan Wuna, di lanjutkan oleh saudaranya La Posasu sebagai Raja Wuna ke 8 .
Diawal pembentukan Kesultanan Buton itulah La Kilaponto menggagas suatu system pertahanan bersama diantara kerajaan-kerajaan leluhurnya dengan kerajaannya yang baru ( Buton ). Olehnya itu di undanglah saudarannya La Posasu yang telah menjadi Raja Wuna ke Kapontori , pusat pemerintahan Kesultanan Buton untuk membicarakan untuk membicarakan hal itu. Pertemuna itu dilakukan di tepi kali yang bernama “ Kapeo-peo “ ( mengenai sejarah penamaan kali tersebut dengan kapeo-peo, akan di bahas khusus dalam artike lain), olehnya itu kesepakatan dari perjanjian tersebut di kenal dengan nama “ Aka Kapeo-peo “ atau Kesepkatan Kapeo-peo.
Adapun isi “ Aka Kapeo-peo “ itu adalah :
- Dua kampong di Pulau Muna bagian Selatan ( Wasilo mata/ Mawasangka dan Bombona wulu/ Gu ) yang dekat dengan Wolio, pusat Kesultanan Buton di gabungkan kedalam wilayah Kesultanan Buton. Sedangkan dua Kampung di bagian Utara Pulau Buton ( Kulisusu dan Wakorumba ) yang dekat dengan Kota Wuna, pusat pemerintahan Kerjaan Muna bergabung dengan Kerajaan Muna ( La Kimi, 1993 ).
- Hubungan pemerntahan kedua kerajaan ( Muna & Buton ) menganut pinsip Soi Laompo ( Kesetaraan ) yaitu, status sosial dan wilayah yang sejajar, setaralaksana rajukan sero. Olehnya itu bila ada salah satunya yang mengalami kesusahan baik dalam pemerintahan maupun pertahanan maka yang lainnya wajib membantu sampai permasalahanya selesai.
- Pengangkatan Sultan menganut system “ Torumbalili “ yaitu Kekuasaan bergilir , yang diambil dari trah patrilineal Sugi Manuru baik yang ada di Buton maupun yang ada di Muna.
Sistem Torumbalili ini berdasarkan pada tiga syarat utama Yaitu :
- Kumbewaha ( Kewibawaan ). Syarat ini bermaksud adalah setiap yang akan di angkat menjadi sultan harus memiliki kewibawaan yang tinggi dan di segani oleh segenap rakyat di Kerajaan Muna dan Kesultanan Buton.
- Tanailandu ( keteladan utama ). Maksudnya, setiap yang akan diangkat menjadi sultan haruslah memiliki sifat-sifat keteladanan yang utama dan tidak pernah sedikitpun terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar etika moral yang berlaku di masyarakat di kedua kerajaan tersebut; dan
- Tapi-tapi (senioritas ), maksudnya yang akan menjadi sultan haruslah mendahulukan senioritas baik secara kecerdasan maupun usia. ( Baca: La Ode Sirad Imbo, 2012 ).
Menindak lanjuti Aka Kapeo-peo, Raja Wuna La Posasu segera membentuk tiga tistem pertahanan laut di kerajaannya yang diberinama Bharata, yaitu, Bharata Loghia yang bertugas menangkal musuh yang datang dari timur dan utara, Bharata Lagontohe yang bertugas menangkal musuh yang datang dari selatan, sedangkan untuk menangkal musuh yang datangnya dari barat, dibentuk bharata Wasolangka ( J. Couvreur , 1935 : ). Ketiga bharata itu dikenal sebagai Bharata Tolu Peleno . Sistem pertahanan yang dibangun oleh Raja La Posasu itu belakangan bekerja sangat efektif sehingga VOC – Hindia Belanda kesulitan untuk menembus Pusat Kerajaan Wuna di Kotano Wuna karena terlebih dahulu di hadang oleh pasukan-pasukan tangguh di ketiga Bharata tersebut.
Sementara itu, La Kilaponto memindahkan Pusat Pemerintahannya di Wolio, Kota Baubau saat ini. Pemindahan pusat pemerintahan itu selain untuk memperkuat pertahanan dari serangan musuh yang datangnya dari kawasan timur ( ternate ) dan dari barat ( gowa ), juga wilayah tersebut merupakan kawasan strategis untuk membangun pusat-pusat perdagangan karena perairannya yang dalam sehingga mudah disinggahi kapal-kapal besar .KAPONTORI
Sistem pertahanan yang dibanguan oleh dua raja bersaudara di dua kerajaan tersebut ( Wuna & Buton ) berjalan efektif sampai tahun 1610 setelah pendeklarasian Martabat Tujuh oleh Sapati La Singga, di masa pemerintahan Sultan Buton ke- 4 La Elangi. Poin – poin kesepakatan Aka Kapeo-peo yang disepkati oleh Sultan Buton pertama La Kilaponto dengan La Posasu Raja Wuna ke 8, yang awalnya adalah system pertahanan bersama dengan relasi setara sebagai dua kerajaan bersaudara, dalam Martabat Tujuh dipelintir menjadi relasi hirarkhi antara pusat dan wilayah otonom yang dilakukan secara sepihak oleh Buton. Sontak saja, Martabat Tujuh itu mendapat penolakan terhadap Raja Muna saat itu karena Martabat Tujuh dianggap sebagai penghianatan terhadap Aka Kapeo-peo. Perbedaan pendapat itu menjadi awal sengkrut dan seteru antara dua kerajaan bersaudara yang residunya masih terasa sampai saat ini.
Strategi membangun system pertahanan bersama yang dirancang oleh La Kilaponto dan La Posasu itu, sebenarnya dilatar belakngi oleh suatu peristiwa besar yaitu masifnya upaya penaklukan kerajaan-kerajaan tentangga yang dilakukan Kesultanan Ternate untuk memperluas wilayah kekuasaannya sekaligus menyebarkan agama islam. Salah satu armada yang paling disegani adalah armada laut yang dipimpin oleh Kapalaya atau di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara di kenal dengan nama Labholontio.
Armada yang dipimpin oleh Labolontio ini terkenal dengan kesadisannya. Setip wilayah yang disinggahinya selalu dibumi hanguskan setelah seluruh harta benda yang berharga dirampok. Siapa saja yang mencoba melakukan perlawanan akan dibunuh dengan cara sadis, sedangkan yang menyerah ditawan dan dijadikan budak. Perempuan – perempuan muda diperkosa dan anak –anak ditangkap dan di didik agar memilki sifat yang sadis pula sehingga ketika dewasa, anak-anak menjadi tega melakukan pembunuhan secara sadis terhadap orang tuannya sekalipun apabila orang tuanya tersebut tidak mau tunduk dan patuh pada Labolontio dan Sultan Ternate.
Menurut beberapa literature sejarah mengungkapkan, bahwa keganasan Labolontio itu berhasil membumi hanguskan dan menguasai beberapa wilayah kerajaan Wolio diantaranya Lowu-lowu. Bahkan Kapontori sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wolio sudah dalam pengepungan pasukan Labolontio. Mulae, Lakina Wolio saat itu tidak dapat berbuat banyak. Kewibawaanya benar-benar terpuruk ke titik nadir. Bahkan kerajaannya pun terancam bubar dan berada sepenuhnya dalam penguasaan Labolontio.
Melihat kondisi kerajaan Wolio yang “ di ujung tanduk “ itu, Raja Wuna saat itu Sugi Manuru menjadi khawatir. Ke khawatiran Raja Sugi Manuru itu sangat beralasan karena boleh jadi, setelah berhasil menguasai Wolio, Labolontio meneruskan penaklukannya di kerajaan lainnya termsuk Kerajaan Wuna yang bertetngga dekat dengan Kerjaan wolio. Olehnya itu, Sugi Manuru segara memanggil pulang anaknya La Kilaponto yang sedang menjalani hukuman pengasingan di Selayar untuk menumpas Labolontio. Mendapat panggilan dari orang tuanya itu, La Kilaponto segera pulang ke Wuna dan membawa serta mertuanya Opu Manjawari Raja Selayar.
Setibanya di Muna, Sugi Manuru segera member wejangan pada puteranya tersebut dan mengutusnya ke Kapontori pusat Kerajaan Wolio untuk menumpas Labolontio. Bersama mertuanya Opu Manjawari ( kelak setelah mendirikan Kesultanan Buton, Opu Manjawari diangkat sebagai Sapati ) ke Kapontori. Dalam sebuah perang tanding, di pesisir pantai Kapontori yang bernama Boneatiro, La Kilponto berhasil membunuh Labolontio. Melihat pemimpinnya terbunuh, sisa-sisa pasukan Labolontio melarikan diri dengan menggunakan kapalnya masing-masing. Sedangkan yang tidak sempat meloloskan diri dibunuh atau dijadikan budak. Setelah berhasil membunuh Labolontio, La Kilaponto menemui Mulae dan menikahi anak gadisnya yang bernama Wa Tampidongi atau lebih dikenal Boroko Malanga ( Bahasa Wolio yang artinya leher panjang ) karena memiliki leher yang jenjang.
Sukses menjalankan misinya menumpas Labolontio, La Kilaponto kembali ke Wuna dan dilantik menjadi Raja Wuna menggantikan ayahnya yang telah uzur. Pelantikan dirinya sebagai raja itu karena sarano wuna, lembaga yang berwenang mengangkat raja dan memiliki kuasa peradilan menganggap kesalahannya yang menyebabkan La Kilaponto diasingkan ke Selayar telah ditebus dengan menyelamatkan Kerajaan Wuna dari gangguan Labolontio.
Kendatipun Labolontio telah terbunuh dan La Kilaponto telah dilantik sebagai Raja Wuna, namun rupanya keresahan Sugi Manuru belum juga hilang. Sebagai seorag pemimpin besar, tentu dia memiliki insting yang kuat, di mana walau Labolontio telah terbunuh dan sisa-sisa pasukannya telah lari kocar-kacir, namun Sugi manure merasa ancaman ternate belum juga usai. Boleh jadi, Ternate menuntut balas atas kematian Labolontio dan kembali membuat kekacauan di Buton dan Wuna. Olehnya itu Suatu ketika Sugi Manuru memanggil La KIlaponto dan memerintahkanya La Kilaponto kembali ke Wolio untuk menjadi raja di sana. “ anakku, pergilah kau ke sana ( maksudnya Wolio ), dan menjadi raja serta memperbaiki keturunanmu di sana “ begitu pesan Sugi Manuru pada anaknya ( Tanzilu, 1998 : ). Dengan berat hati, akhirnya La Kilaponto ke Wolio dan menjadi raja menggatikan Mulae yang juga mertuanya. Walaupun telah menggantikan Mulae, namun jabatannya sebagai Raja di Kerajaan Wuna tidak juga di lepaskannya. Selama tiga tahun, La Kilaponto menjadi raja di dua kerajaan sekaligus yaitu Wuna dan Wolio, olehnya itu oleh Sarano Wuna di di gelar dengan “ Omputo Mepokonduaghono Ghoera “.
Setelah berhasil mendirikan Kesultanan Buton dan memindahkan pusat pemerintahanya di Wolio ( Baubau saat ini ), La Kilaponto mulai membangun kerajaannya itu. Sistem pemerintahan ditata dengan baik dan membentuk lembaga baru yaitu Sapati dan untuk pertama kalinya jabatan Sapati itu dipercayakan pada mertuanya Opu Manjawari . Sara/ hokum yang sebelumnya belum lengkap di lengkapi dengan mengadopsi system hukum kerajaan Wuna. Kampung-kampung baru dibentuk serta dua kampong di Selatan Pulau Muna ( sekarang Kabupaten Buton Tengah ), yang sebelumnya menjadi wilayah Kerajaan Wuna, di alihkan ke Buton. Sejak saat itu, kewibawaan Kesultanan Buton mulai pulih serta Kesultanan Buton mulai dikenal di seluruh jazirah Sulawesi bahkan Nusantara.
Pun Drs. La Ode Kaimuddin, Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode 1992 – 1997 dan 1997 – 2003 adalah Putera Raja Wuna La Ode Dhika gelar Komasigino. Komasigino adalah Raja Wuna ke XXX, memerintah tahun 1930-1938. La Ode Kaimuddin Lahir di Muna pada 26 Oktober tahun 1935. La Ode Kaimuddin menghabiskan masa remaja dan dewasanya di luar Kabupaten Muna. Setelah menyelesaikan pendidikannya di UGM Jogyakarta, dia kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Propinsi Maluku. Nantilah dipilih menjadi Bupati Muna barulah dia kembali di Muna pada tahun 1974.
Sebelum menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara, La Ode Kaimuddin pernah menjadi Bupati Muna selama 7 tahun yaitu tahun 1974 – 1981. Setelah menjadi Bupati Muna, La Ode Kaimuddin di percayakan sebagai pembantu gubernur wilayah kepulauan dan daratan yag berkantor di Baubau. Selepas menjabat pembantu gubernur wilayah kepulauan, La Ode Kaimuddin menjadi Ketua BAPEDA Propinsi Sulawesi Tenggara dan akhirnya terpilih menjadi Gubernur tahun 1992.
Diawal karirnya sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara, Drs. H. La Ode Kaimuddin segera menertibkan Aparatur Pemerintahan, khususnya di Kantor Gubernur Prov. Sultra yang sedikit mengalami kegoncangan dan ketidakpastian. Sasaran berikutnya Pemuktahiran Data dan Penataan Kota Kendari sebagai ibukota Prov. Sultra khususnya penataan sarana jalan dan penataan rumah-rumah penduduk menurut rencana tata kota.
Ruas-ruas jalan baru untuk membuka keterisolasian kota banyak banyak dibangun.Kota Kendari yang merupakan ibukota Sultra yang awalnya kumuh dirubah menjadi kota modern. Kota juga semakin diperluas sampai ke Andoohu. Kantor Gubernur di letakan di tengah hutan guna menarik masyarakat untuk berpindah dari Kota Lama ke pusat kota saat ini Andonohu. Gebrakan yang dilakukan oleh La Ode Kaimuddin itu pada awalnya ditentang oleh masyarakat Kota Kendari. Unjuk rasa di gelar di mana-mana untuk menghalangi ide “ gila “ itu namun tidak membuat dia gentar. Bahkan tidak jarang dia menunggangi sendiri alat berat untuk melakukan penggusuran- penggusuran dalam rangka membuat jalan baru. Tidak sedikit juga orang mencemoohkannya karena idenya tersebet tidak masuk akal. Namun tidak menunggu lama, cemoohan banyak orang itu jstru berubah menjadi kata pujian dan sanjungan karena kerja keras seorang La Ode Kaimuddin itu wajah Kota Kendari menjadi cantik seperti yang kita lihat saat ini.
Pada periode kedua pemerintahannya, La Ode Kaimuddin memfokuskan pada pemberdayaan t dan peningkatan ekonomi masyarakat. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Aplikasi Strategi Lima Sehat Empat Sempurna yang dikukuhkan dengan Keputusan DPRD Prov. Sultra PERDA No.13 Tahun 1998 dan Keputusan Gubernur No.21 Tahun 1999.
Lima Sehat dimaksud meliputi :
- Pengentasan kemiskinan di Sultra
- Peningkatan daya serap wilayah
- Penciptaan lapangan pekerjaan
- Peningkatan kualitas SDM
- Peningkatan dan penghayatan dan pengamalan sikap disiplin.
Empat Penyempurna, meliputi :
- Setiap aktivitas aparatur dan rakyat harus menghasilkan nilai tambah
- Upaya menghasilkan nilai tambah memerlukan terobosan sesuai dengan peraturan yang berlaku
- Terobosan memerlukan keberanian yang dilandasi oleh sikap profesional dan kredibilitas
- Keberanian memerlukan tanggung jawab.
Aplikasi strategi lima sehat empat penyempurna adalah penerapan paket kebijakan lima sehat penyempurna pada usaha pemberdayaan ekonomi rakyat.
Diakhir masa pengabdiannya sebagai gubernur, pernah terbersit pemikiran untuk memekarkan Propinsi Sulawesi Tenggara Kepulauan yang terdiri daerah – daerah otonom di Kepulauan Muna dan Buton. Pemikiran itu dilhami oleh peningkatan status Kota Madya Baubau menjadi Daerah Otonom Kota Baubau sesuai dengan amanah UU/22/1999 tentang Otonomi Daerah. Untuk memenuhi syarat pembentukan propinsi minimal 5 Daerah setingkat Kabupaten/ Kota, maka didoronglah pemekaran kabupaten Wakatobi dan Bombana. Dengan demikian maka syarat minimal terbentuknya Propinsi yaitu 5 daerah setingkat Kabupaten/ Kota terpenuhi.
Menindaklanjuti ide cemerlang La Ode Kaimuddin itu, maka beberapa tokoh masyarakat Buton dintaranya Alm. La Ode Muhammad Halaka Manarfa, Umar Samiun, La Nggasa, Yan Achyar, La Ode Abdul Munafi yang di dukung oleh tim redaksi Majalah Lantang mengadakan rapat di Kantor Majalah Lantang ( saat ini telah menjadi SPBU depan Lippo Mall ) untuk membentuk kepanitiaan percepatan pemekaran propinsi serta pemekaran Kabupaten Wakatobi dan Bombana. Penulis sendiri saat itu dipercayakan sebagai coordinator kampanye media dan publikasi.
Karena pada waktu itu belum ada perwakilan dari Muna maka kepanitiaan belum di organikan. Untuk itu penulis ditugaskan untuk menghubungi beberapa tokoh muda Muna yang progresif serta menemui Gubernur untuk menyampaikan rencana kepanitiaan itu. Sedangkan nama propinsi yang direncanakan adalah Propinsi Buton – Muna. Tokoh muda yang berhasil penulis hubungi saat itu adalah La Ode Haji Polondu dan Muhammad Satri Salim.
Semua pembicaraan mengenai rencana pemekaran propinsi dan pemekaran Kabupaten Wakatobi dan Bombana kemudian dibuatkan menjadi suatu laporan khusus di majalah Lantang. Setelah terbit, penulis kemudian berangkat ke Kendari untuk menyampaikan semua rencana itu pada Gubernur La Ode Kaimuddin sekaligus menyerahkan Majalah Lantang yang membuat laporan khusus atas rencana pemekaran itu. Namun begitu Gubernur menerima majalah itu dan membaca sampulnya, sontak dia berujar dengan nada suara tinggi “ Tidak ada pemekaran-pemekaran kalau bukan Sulawesi Tenggara Kepulauan namanya. Mau Buton –Muna kah, Mau Muna Buton kah atau apapun namanya tidak ada itu yang namanya pemekaran “ begitu katanya.
Reaksi penolakan yang begitu keras dari Gubenur terhadap rencana pemekaran itu saya laporkan pada panitia. Namun rupanya panitia justru berkeras untuk tetap memakai nama Buton- Muna. Bahkan kalau Gubernur tetap menolak mereka akan merubahnya menjadi Propinsi Buton Raya. Kalau Gubernur Kaimuddin tidak mau memekarkan, maka kita menungguh gubernur yang baru nanti. Dan setelah Ali Mazi dilantik menjadi Gubernur, benar nama yang di ajukan sebagai calon propinsi baru itu adalah Buton Raya. Sejak saat itulah nama Propinsi Buton Raya yang di kampanyekan namun dengan nama itu Propinsi Baru yang di rencanakan semakin tidak jelas. Bahkan di rubah dengan nama Propinsi Kepulauan Buton sekalipun.
Demikianlah sekilas profil La Kilaponto, Putra Muna yang visioner yang bekerja melampaui masanya dan reingkarnasinya Drs. H. La Ode Kaimuddin. Semoga teladan kedua tokoh itu menjadi inspirasi bagi kita semua dan menjadi motivasi bagi generasi selanjutnya dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Teriring Doa bagi keduanya semoga keduanya mendapat tempat yang layak disisi Allah swt. Ditunggu lahirnya reingkarnasi kedua dan seterusnya dari kedua tokoh besar itu untuk kejayaan Muna dan Buton.
Komentar
Posting Komentar
Komentar anda sangat di butuhkan perbaikan blog ini. Silakan berkomentar dengan santun, hindari komentar yang berbau SARA dan menyerang pribadi orang serta ujaran kebencian. Andimin tidak bertanggung jawab terhadap komentar yang berbau SARA, menyerang pribadi orang dan mengadung ujaran kebencian dari pengunjung.